PERSPEKTIF FIQIH DAN UNDANG -UNDANG PERKAWINAN
Oleh : Umar Yahya
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Institusi perkawinan dalam Islam merupakan masalah yang amat penting. Instiutisi ini tersebut dianggap sebagai bangunan suci yang tidak terlanggar, yang tatanannya tidak tidak mengikuti khayalan manusia. Perkawinan erat kaitannya dengan kebaikan dan keburukan yang keduanya menjadi pusat perhatian fiqih Islam.
Tujuan perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 UU NO.1 Tahun 1974 yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa hubungan suami isteri, namun apabila salah satu pihak atau keduanya tidak mungkin lagi mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, maka demi kemaslahatan mereka, Islam telah membuka pintu darurat untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga tersebut melalui suatu perceraian.
Dalam kontesk perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri tidak dapat berdiri sendiri atau dipisahkan, tetapi kedua belah pihak sama-sama memiliki hak dan kewajiban dan sekaligus. Mendudukkan suami isteri dalam kewajiban menimbulkan tanggung jawab dalam rumah tangga secara wajar, artinya baik suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangga.
Secara umum nafkah isteri diwajibkan sebagai imbalan dari kesediaan isteri untuk menyerahkan dirinya kepada suami, termasuk sikap tidak menolak dari seorang isteri, sudah cukup menjadi alasan untuk mewajibkan nafkah atas suaminya, meskipun kenyataannya suami isteri tersebut belum pernah terjadi hubungan badan (Qabalah Dukhul) .
Isteri yang enggang atau menolak untuk digauli oleh suaminya tanpa alasan yang sah, maka termasuk nusyuz sehingga tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 80 ayat (7) Kompilasi Hukum Islam bahwa apabila isteri nusyuz (membangkan) terhadap suaminya, maka hak-hak nafkahnya gugur.
B. Rumusan Masalah
Dengan menganilisis hal-hal tersebut diatas, maka akan timbullah problema sebagai pokok permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana hak dan kewajiban suami isteri dalam hal terjadi Qabla Dukhul ?
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi putusan Hakim dalam kasus tuntutan nafkah isteri Qabla Dukhul ?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Dalam istilah fiqhi nafkah dari kata ”al-infaq” yang berarti biaya, belanja, pengeluaran uang, sering pula diartikan sebagai pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang-orang atau pihak yang berhak menerimanya.1 Nafkah merupakan pemberian berupa harta benda kepada orang yang berhak menerimanya seperti; isteri, anak, orang tua dan sebagainya. Nafkah diberikan itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Dalam kehidupan rumah tangga (suami isteri), dikenal 2 (dua) jenis nafkah yaitu nafkah lahir dan nafkah batin. Nafkah lahir yaitu kebutuhan pokok dalam bentuk materi, sedangkan nafkah bathin adalah kebutuhan pokok yang bersifat non materi dalam bentuk hubungan badan (bersetubuh), kasih sayang terhadap isteri dan sebagainya. Dalam pengertian ini nafkah lahir harus diberikan oleh suami kepada isterinya, meskipun ternyata keduanya belum pernah bersetubuh (Qablah Dukhul). Kewajiban mana apabila tidak dilakukan oleh suami, maka isteri berhak mengajukan tuntutan nafkah tersebut di Pengadilan Agama.
Pada pasal 33 Undang-undang No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain; sedangkan 34 ayat (1) secara khusus disebutkan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Pengertian Qablah Dukhul, istilalh Qablah Dukhul berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu ”Qabla” yang berarti belum dan ”Dukhul” berarti masuk. Maka pengertian Qabla Dukhul menurut bahasa yaitu belum masuk. Sedang menurut istilah fiqhi (munakahah) pengertian Qablah Dukhul yaitu suatu keadaan rumah tangga (dalam hal ini suami isteri) belum pernah melakukan hubungan badan (persetubuhan).
Hak dan kewajiban sebenarnya terdapat hubungan yang sangat erat. Hak senantiasa mencerminkan adanya kewajiban dan kewajiban senantiasa mencerminkan adanya hak. Seorang yang memiliki hak untuk menagih piutangnya pada orang lain menunjukkan adanya pihak yang berkewajiban membayar utangnya tersebut. Olehnya itu terpatlah yang dikemukakan oleh Van Apeldorem menyatakan : ”Bahwa tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua pihak, pada satu pihak ia merupakan hak dan pihak yang lain ia merupakan kewajiban.
Kewajiban untuk saling memberi bantuan lahir bathin menurut Satria Efendi M Zein menyatakan bahwa: ”Dapat dipahami bahwa dengan selesainya akad nikah, maka sejak itu pula timbul kewajiban suami terhadap isterinya, baik berupa materi maupun non materi. Kewajiban yang bersifat materi adalah seperti membayar mahar dan nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat kediaman. Kewajiban nafkah ini berlaku selama isteri tidak nusyuz atau benar-benar bersedia dan atau bersikap tidak menolak untuk menyerahkan diri kepada suaminya meskipun kenyataannya belum disetubuhi”.5
Salah satu kewajiban suami yang bersifat non materi dan sangat erat kaitannya dengan pembahasan ini (atau tuntutan isteri Qablah Dukhul) yaitu kewajiban nafkah bathin (hubungan badan). Persoalannya adalah apakah akad nikah hanya menimbulkan kewajiban sepihak, dimana hanya isteri yang berkewajiban menyerahkan dirinya untuk digauli suaminya, atau akad nikah itu menimbulkan kewajiban timbal balik. Artinya, sebagaimana isteri berkewajiban menyerahkan dirinya untuk digauli suaminya, demikian pula sebaliknya suami berkewajiban menggauli isterinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewajiban suami isteri yaitu saling cinta mencintai, hormat menghomati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Dan jika suami atau isteri melalaikan kewajiban tersebut, maka kedua belah pihak telah melalaikan pula hak yang satu kepada yang lain, sehingga masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
B. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya
Pada setiap masa dan lingkungasn hidup masyarakat, dimana saja tidak terlepas dari problem distorsi dari perkawinan. Untuk mengakhiri perkawinan yang sudah rusak, terpaksa masyarakat mencari jalan dan pembenaran yang legal, apalagi perkawinan itu kondisinya sudah parah (pecah) dan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pembinaan keluarga.
Menurut Hammuda Abd. Al-Ati, putusnya suatu perkawinan melalui perceraian merupakan sesuatu yang alami (natural) dan juga bersifat. Keluarga Muslim (The Family structure In Islam) Alih Bahasa Thayib. 7
Dalam mencermati kealamiahan dan keuniversalan perceraian, tampaknya ada 2 (dua) arus yang relatif saling bertolak belakang. Jika diikuti kecederungan yang digambarkan Alfin Toffler yang dikutif oleh Hasan Bisri.8 Seolah-olah dalam kehidupan masyarakat modern bergerak arus deras yang menginginkan kebebasan perkawinan dan kemudahan perceraian. Arus kecenderungan itu tampaknya menghendaki dibalikkannya suasana private affair, dalam masalah perkawinan dan perceraian dan selanjutnya menghalalkan tata cara perkawinan percobaaan (trial marriage), kawin kontrak (term Marriage), hidup bersama tanpa nikah (compassionate marriage) dan perceraian atas kesepakatan.
Di masyarakat telah muncul gejolak praktik perkawinan dan perceraian yang didasarkan pada penerapan urusan pribadi (private affair) tanpa campur tangan penguasa (public authority). praktek yang demikian dainggap tidak tertib yang kemudian diberantas melalui Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, dimana melalui peraturan tersebut, campur tangan penguasa diikutsertakan dalam setiap perkawinan dan perceraian bahkan peraturan tersebut mempersempit ruang gerak perceraian.
Terlepas dari arus kecenderungan di atas secara alamiah, menurut teori alamiah perceraian merupakan hal yang lumrah selagi jalan pilihan yang terbaik untuk mengatasi kemelut yang dialami oleh suatu (perkawinan), meskipun pilihan itu menurut ajaran Islam merupakan suatu perbuatan yang halal tetapi dibenci oleh Allah Swt.
Dari uraian di atas dapat dilihat pandangan Islam terhadap masalah perceraian, pada suatu segi Islam tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian, tetapi ingin lebih mempertahankan ikatan perkawinan dengan memberi garis-garis pedoman mengatasi kegoncangan yang terjadi agar sedapat mungkin menghindari perceraian. Sedangkan pada segi lain, Islam tidak menutup rapat-rapat pintu perceraian baru boleh dimasuki apabila keserasian suami isteri sudah sampai pada titik yang tidak mungkin dipertemukan. Pintu sudah sampai pada titik yang tidak mungkin dipertemukan. Pintu perceraian merupakan jalan darurat sebagai pilihan terakhir untuk memutuskan ikatan perkawinan, meskipun putusnya perkawinan tersebut diikuti dengan segala bentuk konsekwensi atau akibat-akibatnya.
Berdasarkan muatan pasal tersebut di atas, secara implisit dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, akibat putusnya perkawinan karena perceraian, baik cerai talak maupun gugatan cerai, oleh hukum memberikan hak kepada isteri Qablah Dukhul dapat menuntut nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
Perkawinan menurut Syari’at Islam, setidak-tidaknya akan; (1) membuat hubungan antara laki-laki perempuan menjadi terhormat dan saling meridhai, (2) memberikan jalan yang paling sentosa pada hubungan badan sebagai naluri manusia, memelihara keturunan dengan baik dan menghindarkan kaum wanita dari penindasan, kaum laki-laki (3) membuat pergaulan suami isteri berada dalam naungan naluri keibuan dan kebapakan sehingga akan melahirkan anak keturunan yang baik sebagai generasi penerus missi kekhalifahan, dan (4) menimbulkan suasana yan tertib, yang aman dalam kehidupan sosial.
Pengadilan Agama di samping berfungsi menjaga keutuhan dan keturunan keluarga juga sebagai benteng terakhir yang harus mampu mengantisipasi persoalan-persoalan hukum yang muncul di masyarakat. Khusus dalam hal tuntutan nafkah isteri Qablah Dukhul, jika hanya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tidak ditemukan suatu aturan khusus tentang itu, kecuali hanya aturan umum yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Demikian pula para fukaha sebagian besar berpendapat bahwa isteri yang tidak pernah digauli (Qablah Dukhul) tidak berhak mendapat nafkah, dan pendapat itulah yang sebagian besar dipegangi masyarakat pada umumnya sampai sekarang, karena pendapat tersebut selalu menghubungkan antara kewajiban nafkah dengan masalah ”tamkin” yaitu kesediaan isteri melayani kebutuhan seksual suami ( Pasal 80 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam).
Perubahan hukum atau peraturan perudang-undangan dalam arti luas memang sewaktu-waktu diperlukan pada saat terjadinya kesenjangan atas keadaa-keadaan, peristiwa-peristiwa, di mana dianggap tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Khusus mengenai tuntutan nafkah isteri Qabah Dukhul, penulis sependapat dengan Ibrahim Hosen dan Ibnu Hazm, yang pada intinya bahwa kewajiban suami isteri memberi nafkah kepada isterinya berlaku sejak setelah akad nikah, bukan setelah adanya Tamkin yang sempurna, karena hal tersebut seolah-olah tujuan perkawinan itu hanya untuk kepentingan seks atau biologis semata, bahkan ada kesan bahwa wanita (isteri) hanya sebagai obyek sksualitas belaka dan pemuasan nafsu. Padahal pernikahan dalam Islam mempunyai tujuan yang sangat agung dan mulia yaitu untuk membangun rumah tangga bahagia, sejahtera yang penuh sakinah, mawaddah dan rahmah guna melahirkan generasi manusia yang baik dan berkualitas (Zurriyah Thayyibah)
Hal inilah yang melatar belakangi pemikiran tersebut yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak isteri dan mencegah timbulnya kewenangan-kewenangan suami terhadap isterinya, sekaligus dapat menghapus kesan negatif yang menempatkan posisi wanita (isteri) sebagai obyek seksual dalam suatu rumah tangga. Oleh karena itu yang ingin dicapai justru pengangkat missi Islam yaitu mengangkat derajat wanita (yarfa’u mustawannisa), terutama dalam menciptakan adanya kepastian hukum, kemamfaatan dan keadilan.
C. Eksistensi Nafkah sebagai Tanggung Jawab Suami Akibat terjadinya Perceraian dalam perkawinan.
Nafkah suami terhadap isterinya merupakan kewajiban yang tidak dapat dielakkan baik dalam keadaan misikin atau kaya hal mana merupakan perintah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan isteri dan anak-anaknya itu, bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Selanjutnya pasal 45 ayat (1); Kedua orang tua dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal-pasal ini menunjukkan kewajiban orang tua dalam ayat ini ayah untuk memelihara anak-anaknya meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus, kewajiban mana harus dipenuhi sampai anak tersebut dewasa umur 21 tahun atau sudah kawin.
Maksud kewajiban disini, sebagaimana kewajiban pada umumnya, yang harus dilaksanakan jika tidak ia akan mendapat sanksi, LB. Curzon, mengatakan suatu kewajiban sebagai tindakan atau kesabaran yang dipaksa daerah itu dalam menanggapi suatu hak atas lainnya, maka dengan demikian kewajiban seorang ayah tersebut yang telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang harus dipenuhi, jika tidak ia akan mendapat tindakan yang memaksanya untuk memenuhi kewajiban itu.12
Jadi tujuan Undang-undang mengenai nafkah isteri dan anak tersebut adalah supaya suami bertanggung jawab terhadap isteri dan anaknya, yaitu memenuhi kebutuhan pokoknya; sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan kepada anaknya, sehingga dengan Undang-undang ini anak dapat terhindar dari kesengsaraan, kehancuran masa depan baik fisik maupun mentalnya dan diharapkan menjadi anak yang berguna bagi bangsanya.
Nafkah anak wajib dipenuhi karena di dalamnya menyangkut kehidupan anak itu sendiri yang menyangkut biaya penghidupannya sehari-hari. Serta pendidikan baik dalam keluarga maupun pendidikan secara formal. Kewajiban nafkah yang merupakan tanggung jawab dari ayah seharusnya dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat perekonomian ayah itu sendiri yang sangat berpengaruh dalam memenuhi nafkah terhadap anak-anaknya, apalagi harus memenuhi kewajiban yang sangat berat. Hal tersebut di atas juga dijelaskan dala QS. al-Baqarah: 233.
Keadaan lingkungan setempat juga berpengaruh, terhadap dilaksanakannya suatu kewajiban ayah terhadap anaknya, karena lingkungan mendukung atas kesadaran seseorang untuk memenuhi atau tidak memenuhi tanggung jawab terhadap anak.
Hal penting dilakukan dalam penelitian yang mendalam karena menyangkut kebutuhan penghidupan anak, kebutuhan ekonomi (sandang, pangan, papan) dan pendidikan yang mempunyai andil besar dalam ikut serta pembangunan bangsa di masa mendatang.
Dari konsep hukum dan variabe-variabel yang telah dikemukakan ternyata efektifitas suatu perudang-undangan tidak terlepas dari konsep Fried Man yaitu subtansi hukum yang berisis peraturan perundang-undangan yang mengikat dan bersifat memaksa, struktur hukum melalui hakim, jaksa dan penyidik kepolisian dan kultur hukum (budaya yang berlaku pada suatu masyarakat) itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya efektifitas pelaksanaan nafkah suami terhadap isteri dan anak-anaknya setelah perceraian terjadi, hukum dan pengadilan yang melaksanakan peradilan diharapkan mampu menegakkan hukum, keadilan dan hak kewajiban antara anak, ayah dan ibu.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang tuntutan nafkah isteri Qablah Dukhul beserta analisanya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya berlaku sejak setelah akad nikah tanpa mempersoalkan apakah telah melakukan hubungan badan (Ba’da Dukhul) atau belum perlu melakukan hubungan badan (Qablah Dukhul) selama dalam perkawinan, kewajiban suami tersebut dapat gugur apabila ternyata isteri berbuat nusyuz dan berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim terhadap tuntutan nafkah isteri Qablah Dukhul adalah nusyuznya isteri Qablah Dukhul, nusyuznya isteri dan atau kelalaian suami. Nusyuz sebagai faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan putusan hakim ”menolak” tuntutan nafkah isteri Qablah Dukhul dan kelalaian suami memberikan nafkah kepada isterinya sebagai faktor yang mempengaruhi putusan hakim mengabulkan nafkah Qablah Dukhul tersebut. Adapun faktor imfoten dan penyakit hanya merupakan penyebab ketidak mampuan suami menggauli isterinya namun imfoten dan penyakit tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan kewajibannya dalam hal memberikan nafkah kepada isterinya.
B. SARAN-SARAN
Untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya terhadap tuntutan nafkah isteri Qablah dukhul, maka penulis menyarankan :
1. Hendaknya para pihak yang terkait, terutama hakim Pengadilan Agama agar dalam menetapkan hak dan kewajiban suami isteri Qablah Dukhul senantiasa menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang mempunyai nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Hendaknya nafkah isteri Qablah Dukhul tersebut merupakan kewajiban melekat bagui suami kepada isterinya tanpa harus melihat adanya tuntutan dari pihak isteri sehingga meskipun isteri tidak menuntut, hakim dapat mempertimbangkan keculai isteri telah merelakan dan atau berbuat nusyuz.
Selanjutnya juga disarankan, perlunya penyebaran informasi tentang tanggung jawab nafkah melalui media dakwah, mesjid, majelis taklim, diskusi maupun penataran, sehingga informasi benar-benar sampai kepada masyarakat kalangan bawah, terutama mereka yang telah dan akan bercerai, dari pasangan yang telah dikarunia anak.
Diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan pengarahan bimbingan dan pengawasan terhadap orang tua yang seharusnya menanggung nafkah anak yang berada di dalam asuhan ibunya. Jika perlu pemerintah daerah mengeluarkan PERDA mengenai kesejahteraan anak yang orang tuanya telah bercerai. Diharapkan lembaga legeslatif, segera membuat undang-undang tentang tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak, yang dapat memberikan sanksi yang berat terhadap ayah yang melalaikan kewajiban pemberian nafkah kepada anaknya.
KEPUSTAKAAN
Alqur’anul Karim
al-Maragi, Musthafa, Ahmad, Tafsir al-Maragi, Juz XVIII, Cet. III, Mekkah: Darul Fikri, 1974
Abdullah, Ibn Abdurrahman Ibn Shaleh Ali Bassam, Tafsirul ‘Allaam, Juz II, Cet. V. Makkah al-Mukarramah: Maktabah wa Matbaah An-Nhdha, 1978.
Abu Zahra Muhammad Imam, al-Jarimati wal ‘Uqubatul Fiqhi al-Islamiyyi, Darul Fikri al-Arabi, Tth.,
Abidin, Andi Zainal, Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum Negara dan Dunia Luar, Bandung: Penerbit Alumni, 1983
Azyurmardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. II, Jakarta: Logos Kencana Ilmu, 2000.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968
Anggalung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980.
Audah ‘Abdul Qadir, At-Tasriul Jinayatul Islamiyyih, Juz I Cet. I, Kairo: Mustafah al-halabiy, 1937
Al-Baihaqy, As-Sunanul Kubra, Juz VIII, Beiru: Majlis Da’watul Ma’arif, 1354 H.
A. Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Daradjat, Zakiah, Islam dan Peranan Wanita, Cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
--------------------, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran, 1979
Fathur Rahcman, Drs. Hadits-hadits Tentang Peradilan Agama, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Hasbi Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr., Filsafat Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
--------------------------------------, al-Islam, Jilid II, Cet. Jakarta: Bulan BIntang, 1977
--------------------------------------, Hukum-Hukum Fiqhi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971