TANTANGAN FIQIH KEISLAMAN DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MODERN (Alternatif Kompromi Perbedaan Pemahaman Fiqih Klasik Dengan Sains)

   2024-09-16     Dilihat : 82

Oleh : Umar Yahya

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 

Perspektif sejarah ternyata Islamlah sebagai agama yang menjadikan cikal bakal ilmu pengetahuan modern. Pernyataan tersebut dapat dibenarkan karena Islam mempunyai kitab suci, yang di dalamnya termuat fenomena-fenomena kemanusiaan dan kealaman yang terjadi di alam raya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut tidak terlepas dari fungsi dan kekuatan manusia sebagai “subyek” dari ilmu pengetahuan. Kesemuanya,   itu, hanya bisa dihasilkan oleh manusia melalui pemanfaatan akal yang merupakan potensi khusus yang dimilikinya sebagai alat berfikir dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan peradabannya.

Bagi umat Islam, kesadaran tersebut harus berkaitan erat dengan keyakinan Alqur’an yang diwahyukan dan pemahaman mengenai kehidupan alam semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terkandung kebenaran absolut, sehingga dituntut kemampuan akal manusia untuk kemudian mengelaborasi dari kedua unsur tersebut.

Perbenturan antara sains dan agama yang selama in dipandang dikotomis terhadap adanya perbedaan antara sains dan agama menjadi semakin usang, setelah dilakukan upaya untuk mengarahkan kajian pada keterpaduan yang harmonis antara sains dan agama. Kecenderungan sekarang adalah menuju pada pada satu sintesa atau  penggabungan bukan dianalisis pada perbedaan yang dapat mengarah kepada konflik.

Dalam dunia Islam sains telah diarahkan pada suatu kajian terhadap kebenaran Alqur’an sebagai pedoman hidup manusia. Dalam konteks tersebut sains dipandang sebagai “sebuah metodologi obyektif yang mengukuhkan fakta-fakta yang dapat dibuktikan”.

Dengan demikian, utang ilmu pengetahuan modern kepada ilmu pengetahuan Islam (Alqur’an) tidak hanya terdiri atas penemuan terori-teori revolisoner yang mengejutkan, tetapi juga berutang dalam memperkenalkan metode-metode dan semangat memperolehnya.   

Produk-produk pemikiran bangsa Barat tidak selamanya Islami. Di sana kita temukan dikotomi keilmuan, ketidaksamaan prinsip dasar dalam berfikir ilmiah antara pemikirannya dengan prinsip qur’ani. Landasan sarjana Barat di dalam usaha mengembangkan sains tidak terlepas dari nilai yang mereka anut, yaitu terpisahnya masalah dunia dan masalah agama, sebagai reaksi yang berlebih-lebihan terhadap tindakan beberapa oknum agamawan di zaman kegelapan, yang tidak menghambat kebebasan  berfikir dan   perkembangan ilmu pengetahuan.

Akibat dari kekeliruan memahami dan menyikapi filsafat pendidikan Barat ini, menyebabkan adanya dualisme ilmu di dunia Islam, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya dualisme pendidikan bagi umat Islam, terutama di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari beberapa uraian di atas, maka penulis  dapat mengemukakan masalah pokok yaitu :”Sejauhmana tantangan yang dihadapi oleh ilmu -ilmu  keislaman di tengah perkembangan ilmu pengetahuan modern”. Untuk mempermudah pembahasan di atas dijabarkan dalam dua sub pokok masalah yaitu :

Apakah dampak dan usaha umat Islam untuk menghilangkan dualisme ilmu-ilmu keIslaman ?

Bagaimana peran pendidikan Agama dalam proses Islamisasi sains  ?


II. PEMBAHASAN

A. Dampak Negatif dari  Dualisme ilmu-ilmu keIslaman  

Ketergantungan bangsa Muslim dalam bidang pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak bisa dihindarkan melanda umat Islam, menurut istilah AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya  bersifat taqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu. Ternyata sikap seperti itu yang banyak melanda umat Islam di segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur, maupun suprastruktur.  

Disamping dampak umum yang dirasakan di atas, berikut akan dipaparkan lain sebagai akibat munculnya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dan pengetahuan Modern/Barat.

1. Munculnya Ambivalensi  Oreintasi Ilmu-ilmu KeIslaman

Salah satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi ilmu-ilmu keIslaman. Sementara ini, dengan pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan dalam program yang diterapkan. Misalnya dalam bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan, bahwa seolah semua itu bukan garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan sekuler.

Pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang memiliki integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisahkan dengan urusan akhirat. Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam dan ilmu-ilmu modern seharusnya dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama. Oleh karenanya, bila paham dikotomi dan ambivalem dipertahankan, output pendidikannya itu tentu jauh dari cita-cita pendidikan itu sendiri.

2. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam

Hingga saat ini, boleh dikatakan bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadinya perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara ilmu-ilmu modern dan ilmu-ilmu agama. Bahkan hal tersebut ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum. Dualisme dan dikotomi pendidikan dari sistem pendidikan warisan zaman kolonial yang membedakan antara pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama di pihak lain, adalah penyebab utama kerancuan dan kesenjangan pendidikan khususnya di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya.

Senada dengan hal tersebut di atas, menurut Marwan Saridjo, akibat dan dampak negatif dari sistem pendidikan dualistik, yaitu (1) arti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama ini; (2) sekolah-sekolah agama dan perguruan tinggi agama  Islam ber IQ. rendah dan dari kelompok residual.     

     

C.Usaha-usaha untuk menghilangkan Dualisme Ilmu-ilmu Keislaman di Dunia Islam

Disadari atau tidak persoalan dualisme sistem pendidikan Islam itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dilihat, dikalangan pakar pendidikan Islam persoalan tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup serius. Mengapa, karena dualisme sistem pendidikan yang seharusnya tidak boleh ada, malah seolah olah telah menjadi trend pendidikan bagi masyarakat Indonesia.

Ditolaknya sistem pendidikan dualisme ini, tidak lain karena sejarah te;lah membuktikan sistem pendidikan Barat seringkali merusak Islam. Setidaknya sistem pendidikan Barat menjadi penghalang dalam membandingkan Islam secara Kaffah dalam kehidupan umat Islam.  

Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah banyak dilontarkan, namun disadari benar bahwa soal dualisme sistem pendidikan ini tidak mudah diselesaikan dan hal ini menjadi tantangan bagi pengembangan ilmu-ilmu keIslaman di era modern. Oleh karenanya, sifat optimisme dan berani menjadi modal penting. Dengan modal tersebut lambat laun usaha-usaha para pakar dan sambutan positif masyarakat Islam akan menjadi kenyataan.

B. Islamisasi Sains dan Sains dalam Perspektif Islam

Islam sebagai salah satu agama adalah  suatu pandangan hidup yang tidak hanya terbatas pada upacara ritual manusia kepada Tuhan, akan merupakan pandangan hidup yang berdasarkan pada Alqur’an dan hadits yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, maka umat Islam atau komunitas Islam tentulah memiliki cita-cita hidup yang berbeda dengan komunitas masyarakat lainnya. Seluruh cita-cita hidup manusia secara umum dan umat Islam secara khusus tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam Alqur’an sebagai pedoman dan kitab suci bagi pemeluknya. Hal tersebut berarti bahwa Alqur’an telah memuat berbagai konsep dasar pendidikan yang dapat mengantarkan masyarakat Islam untuk dapat meraih cita-cita hidupnya.

Upaya pengitegrasian tersebut dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang dapat berfungsi sebagai proses untuk dapat mengubah pengetahuan, tingkah laku anak didik melalui proses belajar mengajar, latihan, keteladanan yang sesuai dengan etika Islam. Kegiatan tersebut akan menghasilkan sumber daya pendidikan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tanpa menafikan aspek moralitas dalam kehidupannya.

Dengan demikian maka proses Islamisasi sains harus dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan dengan melalui integrasi terhadap pengembangan sains dan teknologi dengan kajian-kajian terhadap etika dan moral beradasarkan Alqur’an dan Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam. Proses integratif dalam proses pendidikan tersebut diharapkan dapat memadukan secara utuh konsep Islam dengan perubahan dan perkembangan sains dan teknologi untuk kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat kelak.

C. Pandangan Barat ( ilmu pengetahuan Modern) terhadap Manusia sebagai makhluk pembelajar (homo Educandum)

Pengetahuan adalah suatu yang diketahui manusia melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui intuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil olahan akal (berfikir) dan perasaan tentang sesuatu yang diketahui itu. Sebagai makhluk berakal, manusia mengamati sesuatu, hasil pengamatan itu diolah sehingga menjadi ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu dirumuskannyan ilmu baru yang akan digunakannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjangkau di luar kemampuan fisiknya. Demikian banyak hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang membuat manusia dapat hidup menguasai alam ini. 

HJ. Blackham dalam artikelnya yang berjudul “Humanism: The Subject of the Objections” menyimpulkan bahwa ada dua pokok pendirian yang permanen dari humanisme, yaitu penyelidikan bebas dan persetujuan sosial (free inquiry and social agreement). Penyelidikan bebas menyatakan bahwa tidak ada yang dapat dikecualikan dari pernyataan manusia. Ini bermaknah: tidak ada tradisi kuno, wahyu, otoritas atau pengetahuan apapun yang berada di luar pertanyaan. Bahkan Tuhan mereka pertanyakan, dan dalam kasus Nietzsche, “Tuhan telah mati”.

Pokok pendirian kedua ialah persetujuan sosial. Tanpa adanya persetujuan (agreement) tidak mungkin sesuatu masyarakat dapat ditegakkan di atas landasan yang kokoh. Tentang pertimbangan-pertimbangan etik, mereka (Barat) berprinsip bahwa etik harus bebas dari wahyu dan harus merupakan satu wilayah otonomi bagi penyelidikan bebas. Dengan alasan ini, di mata mereka orang yang tidak mendukung suatu doktrim agama bukanlah seorang yang immoral.

Bila diperturutkan arah pemikiran Barat (ilmu-ilmu pengetahuan Modern), seakan-akan mereka telah memahkotai manusia dengan posisi maha kuasa, dan sangat realistik. Pandangan-pandangan mereka inilah kemudian mempengaruhi pula para pakar pendidikan Barat mengatakan “manusia adalah segala-galanya”. Inilah pangkal pandangan “Antroposentris” yang umumnya dianut oleh para pakar Barat dalam berbagai kajian/penelitian ilmu humaniora, termasuk di dalamnya ilmu pendidikan. 

  Dari pembahasan di atas, bahwa Barat dalam berbagai pemikirannya sekitar eksistensi manusia adalah berpandangan sekularis. Umumnya mereka berpendapat bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan merupakan penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Terlihat di sini bahwa “ruhani” atau “spritual” tidak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi “kejiwaan” dan merupakan penghayatan subyektif semata. Itulah sebabnya maka pengertian “psikologi” dan pengertian “ilmu jiwa” dibedakan. Psikologi bersifat “scientific”, sedangkan ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, tetapi juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa.

III. PENUTUP

Dari beberapa uraian dan argumentasi di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Tantangan ilmu-ilmu keIslaman terhadap sains modern adanya dampak negatif dari dualisme sistem pendidikan Islam dengan terjadinya ambivalensi orientasi pendidikan Islam, kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam, serta sekolah-sekolah agama telah terkotak dalam kubu tersendiri dan menjadi ekslusif.

2. Alternatif solusi untuk mengatasi dualisme sistem pendidikan Islam itu adalah perlu dirumuskannya sistem  pendidikan terpadu, di samping perlu diciptakan dan dikembangkan epistemologi Islam.

3. Proses Islamisasi sains harus bertumpu pada proses pendidikan dengan mengedepankan kajian-kajian obyektif dengan pembuktian secara impirik dan rasional untuk menciptkana kesejahteraan umat manusia.  Pendidikan sebagai lembaga yang berfungsi ntuk menjaga dan mentransfer pengetahuan dan kebudayaan harus dilakukan dengan tetap mengacu pada upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan engan nilai-nilai moral sesuai  dengan konsep dasar ajaran Islam. Jadi pendidikan harus berorientas pada masa depan (future oriented)

Penulis : Umar Yahya | Editor : Umar Yahya