TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN PERSPEKTIF FIQIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

   2024-11-30     Dilihat : 33

Refleksi Terhadap Meningkatmya Perceraian  dan Mitigasinya

Oleh  : Umar Yahya

Latar Belakang Masalah

Bagi suami-steri bercerai adalah upaya mengatasi problem yang selama ini cukup menyita waktu dan tenaga mereka, namun dampak yang ditimbulkan bagi mereka yang telah memperoleh anak sangatlah komplek, karena salah satu dari mereka harus berpisah dengan buah hatinya. Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 menyatakan “Orang tua adalah orang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak didik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Biasanya upaya pensejahteraan anak setelah perceraian dilakukan dengan cara pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun dan lebih spesipik lagi berumur kurang dari 2 tahun berada di tangan ibunya, hal ini dapat dimaklumi karena masa kanak-kanak seperti itu masih membutuhkan kasih sayang ibu apalagi yang masih berumur kurang dari dua tahun yang belum dilakukan penyapihan oleh ibunya, tentu ibu satu-satunya yang dapat memelihara anak tersebut.

Demikian luasnya tanggung jawab ayah terhadap anak-anaknya dalam hukum Islam, mulai dari tanggung jawab komsumsi pendidikan sampai perlindungan dan keselamatan diri dan jiwa anak mesti dipertanggung jawabkan.  

Masalah tanggung jawab ayah terhadap anak ini biasanya tidak ada masalah apabla ia dan ibunya masih rukun dalam sebuah rumah tangga. Namun kalau mereka telah bercerai, tentu ada hambatan-hambatan yang tidak diharapkan terjadi menimpa anak akibat tidak bertanggung jawabnya seorang ayah. 

Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Alquran menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw. adalah untuk seluruh umat manusia, dimanapun ia berada. Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia di atas muka bumi ini, tanpa harus ada “konflik” dengan keadaan dimana manusia itu berada.

Karena hal ini adalah merupakan gangguan dalam kehidupan masyarakat termasuk dalam menuduh seseorang baik tuduhan masyarakat dalam menuduh seseorang baik tuduhan itu secara benar maupun karena ingi menjatuhkan nama baik seseorang. Dengan adanya hal semacam ini penulis tertarik dalam membatasi diri dari beberapa kejahatan  yang dapat merusak nama baik dan merugikan itu, termasuk ayah mentelantarkan anak dan lari dari tanggung jawab akibat karena perceraian suami-isteri, maka anak yang menjadi korban. Juga seorang suami menuduh isterinya melakukan perselingkuhan berbuat zina begitu pula kejahatan-kejahatan lainnya, misalnya menuduh membunuh , mencuri dan lain-lain sebagainya.

  Diajukan masalah pokok sebagai berikut “Bagaimana  pemenuhan tanggung jawab nafkah Ayah terhadap anaknya  dan faktor yang mempengaruhinya setelah terjadinya perceraian”. Untuk memudahkan pembahasan dalam menyelesaikan pokok masalah tersebut, penulis  membagi ke dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :

Apakah ayah masih bertanggung jawab terhadap anak dan pemenuhan nafkahnya  setelah terjadi perceraian ?

Faktor apakah yang mempengaruhi pemenuhan tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak ?

P E M B A H A S A N

Pengertian nafkah anak, dasar hukumnya 

Nafkah berasal dari kata “An-nafaqatuh” berarti  al masshrufu wal infaqu” yang artinya biaya belanja dan pengeluaran anak.1 Sementara itu Wahbah al-Zuhaili, menyatakan bahwa kata  “al-infaquh” mempunyai arti “al-ikhraju” yakni pengeluaran, kata tersebut diartikan demikian karena penggunaannya cenderung kepada hal-hal yang positif yaitu dalam ruang lingkup kebajikan .2

Maksud dari kata “an-nafaqatuh” itu sendiri  adalah apa yang dikeluarkan oleh seseorang untuk kepentingan hidup keluarganya baik itu berbentuk uang ataupun barang-barang secara natural, sedangkan dalam pengaturan hukum syara’ ia berarti upaya yang dilakukan oleh seorang guna memenuhi kebutuhan hidup orang yang menjadi tanggung jawab baik berupa kebutuhan pangan, sandang, maupun papan, termasuk dalam kategori papan disini bukan hanya tempat, tetap juga mencakup perangkat peralatannnya3. Dengan demikian nafkah berarti; prestasi yang diberikan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup anak yang menjadi tanggung jawabnya, baik berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, menyebutkan :Pasal 41 huruf b; Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak  dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pasal  45 ayat (1); Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya  dan ayat (2) kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat (1) ayat ini berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara kedua orang putus.    

Kadar Nafkah anak dan Gugatan terhadap Kelalaian Nafkah anak.

Ukuran mengenai nafkah anak di dalam hukum positif ditegaskan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung biaya rumah tangga biaya perawatan, biaya pengobatan bagi isteri dan  anak, Pasal 80 ayat (4) huruf b, dan Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Sayuti Thalib mengatakan kadar atau nafkah anak didasarkan pada kedudukan sosial  dan tingkat kehidupan suami tidak berlebih-lebihan yang membawa kepada beban yang memiliki kesanggupan suami (bapak) dan tidak pula sedikit-dikit  untuk keringanan beban dari yang seharusnya.4

Pendapat tersebut menujukkan bahwa nafkah yang harus diberikan itu didasarkan kedudukan sosial, dan tingkat kehidupan ayah, dan pentingnya harus dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan anak dan kemampuan ayah. Hal ini agar yang berhak tidak merasa nafkah (anak) tidak terlantar demikian juga dari pihak ayah tidak merasa berat dan menyulitkan, sebagaimana pendapat Lili Rasyidi, menyatakan tentang nafkah anak, beliau berpendapat :“ Nafkah yang harus diberikan hendaklah untuk memelihara dan mendidik anak  yang belum dewasa, jumlahnya hendaklah ditentukan atas dasar keseimbangan diantara keperluan yang diberi nafkah si (anak) dengan pendapatan atau penghasilan yang berkewajiban memberi nafkah (ayah)”.5    

Ketentuan mengenai batas usia dewasa atau mampu berdiri sendiri sangatlah beragam, pada pasal 6 ayat (2) Undang-undang  Nomor 1 tahun 1974 lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin orang tuanya, dari ketentuan ini memberi suatu isyarat bahwa anak yang berusia 21 tahun perlu izin dari orang tuanya karena hingga batas umur tersebut anak masih dalam masa pemeliharaan orang tua, dan setelah anak itu mencapai 21 tahun  tidak perlu izin orang tua karena dianggap telah mampu berdiri sendiri, sedemikian juga kewajiban memberikan nafkah kepada anak berlaku mulai awal tersebut lalu hingga anak tersebut dewasa atau mampu berdiri sendiri.

Undang-undang tentang kesejahteraan anak memberikan definisi tentang anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin, dan dalam penjelasannya dikatakan, penjelasan Pasal 1 angka 2: batas umur 21 (dua puluh satu) tahun dutetapkan oleh berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. 

Kompilasi Hukum Islam sendiri memberi batasan pada pasal 98 (1) bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan, sehingga dengan demikian batasan   bagi anak cacat fisik dan mental untuk memperoleh nafkah dari orang tuanya itu tak terhingga, sebaliknya seorang anak yang telah kawin maka saat itu kewajiban/tanggung jawab ayah memberi nafkah jadi berakhir tanpa memandang berapa usia anak tersebut.

C. Eksistensi Nafkah Anak sebagai Tanggung Jawab Orang Tua Akibat terjadinya Perceraian dalam perkawinan.

Nafkah anak seorang ayah merupakan kewajiban yang tidak dapat dielakkan baik dalam keadaan misikin atau kaya hal mana merupakan perintah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Selanjutnya pasal 45 ayat (1); Kedua orang tua dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal-pasal ini menunjukkan kewajiban orang tua dalam ayat ini ayah untuk memelihara anak-anaknya meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus, kewajiban mana harus dipenuhi sampai anak tersebut dewasa umur 21 tahun atau sudah kawin.

Maksud kewajiban sebagaimana kewajiban pada umumnya, yang harus dilaksanakan jika tidak ia akan mendapat sanksi, LB. Curzon, mengatakan suatu kewajiban sebagai tindakan atau kesabaran yang dipaksa daerah itu dalam menanggapi suatu hak atas lainnya, maka dengan demikian kewajiban seorang ayah tersebut yang telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang harus dipenuhi, jika tidak ia akan mendapat tindakan yang memaksanya untuk memenuhi kewajiban itu.6

Undang-undang adalah hukum yang harus berlaku efektif supaya dapat bermanfaat bagi masyarakat, maka setiap orang yang diatur oleh Undang-undang itu harus patuh dan melaksanakan, sehingga tujuan dari hukum itu dapat tercapai.

Tujuan hukum sebagaimana yang dianut oleh aliran yang termasuk dalam ajaran moral praktis menurut Achmad Ali, yaitu, aliran utilitis yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Penganut aliran utilitas ini menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemamfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya. Warga masyarakat, pandangannya didasarkan pada falsafah sosial  bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum adalah salah satu alatnya.7

Jadi tujuan Undang-undang mengenai  nafkah anak tersebut adalah  supaya ayah  bertanggung jawab terhadap anaknya, yaitu memenuhi kebutuhan pokoknya; sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan kepada anaknya, sehingga dengan Undang-undang ini anak dapat terhindar dari kesengsaraan, kehancuran masa depan baik fisik maupun mentalnya dan diharapkan menjadi anak yang berguna bagi bangsanya.

Nafkah anak wajib dipenuhi karena di dalamnya menyangkut kehidupan anak itu sendiri yang menyangkut biaya penghidupannya sehari-hari.  Serta pendidikan baik dalam keluarga maupun pendidikan secara formal. Kewajiban nafkah yang merupakan tanggung jawab dari ayah seharusnya dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat perekonomian ayah itu sendiri yang sangat berpengaruh dalam memenuhi nafkah terhadap anak-anaknya, apalagi harus memenuhi kewajiban yang sangat berat, Hal tersebut di atas juga dijelaskan dala QS. Al-Baqarah: 233 .

D. Dampak negatif Perceraian dalam pandangan Hukum Islam.

Salah satu alasan perceraian yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan adalah salah satu pihak baik suami mapun isteri telah berbuat zina. Dalam pandangan hukum Islam, khususnya dalam hukum pidana Islam, ketentuan bahwa perzinahan adalah merupakan suatu tindakan pidana, ditetapkan oleh ketentuan Q.S. al-Isra’ : 32. Selanjutnya ketentuan akibat dari perbuatan pidana tersebut yang berupa hukuman, ditetapkan dalam ketentuan QS. an-Nur : 2 .

A. Hanafi mengatakan untuk jarimah zina ditetapkan tiga hukuman yaitu, dera (jilid), pengasingan (taqrib) dan rajam: hukuman dera dan pengasingan ditetapkan untuk pelaku zina muhshan. Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan, maka keduanya dijilid dan diasingkan, akan tetapi kalau kedua pelaku kedua-duanya muhshan, maka kedua-duanya dijatuhi hukuman rajam, kalau salah satunya sudah muhshan sedang yang lain belum muhshan, maka terhadap yang sudah muhshan sedang dikenakan hukuman rajam, sedang terhadap yang belum muhshan dikenakan hukuman jilid dang pengasingan.11 

Sedangkan hukuman pengasingan dianggap sebagai hukuman, pelengkap karena alasan,  pertama hukuman tersebut dimaksud sebagai jalan untuk dilupakan jarimah secepat mungkin oleh masyarakat dalam hal ini mengharuskan dijauhkannya pelaku dari tempat terjadinya jarimah tersebut. Kedua, pengasingan terhadap pelaku zina akan menjauhkan dari berbagai kesulitan yang harus dialaminya apabila ia tetap hidup dan masyarakat sekelilingnya, dan boleh jadi sampai hilangnya jalan akan mendapat rezki kehormatan diri. 

Menurut Anwar Haryono, kiranya lebih mendekati kebenaran, bahwa hukuman bagi pezina, baik laki-laki maupun perempuan baik sudah hidup dalam perkawinan atau yang masih belum pernah kawin adalah cambukan seratus kali itu tidak boleh sampai mengakibatkan kematiannya.12

Menurut Hazairin, bahwa hukuman atas zina yaitu seratus kali dera sesuai QS.an-Nur: 2 dan tidak mungkin diartikan sebagai rajam sampai mati, oleh karena QS.an-Nur:3 menetapkan bahwa seorang yang telah pernah melakukan zina hanya boleh kawin dngan seorang yang telah pernah berzina pula atau dengan seorang musyrik.15   

Jadi yang dimaksud dengan perceraian ialah perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup atau perpisahan antara suami isteri karena salah satunya meninggal dan putusnya  hubungan suami isteri yang juga meniadakan hubungan bercampur diantara keduanya. Dalam pandangan hukum Islam kasus  zina dimulai dengan adanya percekcokan yang dimulai perasaan yang tidak enak antara suami isteri. Kemudian menunjuk  antara suami isteri mengatakan bahwa seseorang itu telah berbuat yang kurang baik, mendakwah, menyangka bahwa melakukan perbuatan perzinaan itu .     

Dalam hal hukum Islam Mahmud Syaltout memberikan pengertian, ialah “Hukum Islam, berarti peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah Swt. pada pokok-pokoknya supaya manusia dapat mempergunakannya dalam hubungannya dengan saudaranya sesama muslim, hubungannya dengan sesama manusia, hubungannya dengan alam dan hubungannya dengan mahkluk hidup.18

Definisi lain dikatakan bahwa : “Ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam yang melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan terhadap pelanggaran ketentuan hukum tersebut, dikenakan hukuman yang berupa penderitaan badan atau denda kepada pelanggarnya.20

Dari kedua definisi hukum Islam tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa keduanya adalah menerangkan akibat hukum dengan adanya pelanggaran yang diperbuat oleh orang melakukan kejahatan (crime)

Dengan berdasarkan dari beberapa uraian di atas, maka penulis maksudkan adalah keretakan dalam rumah tangga  dari percekcokkan yang terjadi antara suami isteri yang berawal dari adanya tuduhan salah satu pihak telah melakukan perselingkuhan  yang menyebabkan terjadinya perceraian. Kemudian dari alasan itu hakim menjatuhkan  hukuman berupa perpisahan atau putusnya hubungan suami isteri, terhadap satu dan lainnya telah  melanggar hukum. Seorang hakim dalam menetapkan hukum tersebut berdasarkan hukum  Islam.

Dengan demikian, menegakkan rumah tangga berarti membina sendi dasar Negara, menyelamatkan dan menjadikannya stabil serta kokoh bahagia. Berarti menyelamatkan dan mengokohkan negara. Maka segala usaha menuju ke sana adalah sangat penting.

Menurut Mukti Ali, bahwa lingkungan keluarga dikenal dalam kehidupan manusia di bumi ini sebagai kelompok utama, karena dari kehidupan keluarga, pola ketertiban dan perturan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, suku dan bangsa.22

Di dalam keluarga pula, dibentuk kesadaran dan sosial dan kebiasaan-kebiasaan peri laku sosial seperti cinta, kasih sayang dan tolong menolong. Hal itu berarti bahwa pengaruh rumah tangga dan suri tauladan orang tua menduduki tempat yang utama dalam pemindahan pola-pola nilai dan kebiasaan.

Umumnya masyarakat Indonesia, baik di desa maupun di kota, senantiasa dapat dijumpai para wanita ikut aktif memainkan peranan bersama-sama kaum pria dalam berbagai kegiatan diluar lingkungan rumah tangga, seperti bekerja mencari nafkah dan mengembangkan karirnya. Hal itu tidak sedikit dapat menimbulkan pertentangan peranan antara tugas rumah tangga dan tugas di luar rumah tangga.

Pergeseran peranan semacam itu sering kali menabrak pola-pola adat kebiasaan yang lazim dilakukan oleh orang tuanya, bahkan kadang-kadang juga menabrak norma-norma dan nilai-nilai agama yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Akibatnya dapat menimbulkan berbagai masalah yang perlu mendapat perhatian yang erat hubungannya dengan kehidupan keluarga. Menurut Mukti Ali masalah yang dimaksud adalah :

Pergaulan muda-mudi yang dewasa ini menjadi masalah sosial di dalam masyarakat.  Hal ini disebabkan adanya pengaruh kebudayaan lain yang tidak melarang pergaulan bebas antara muda-mudi yang mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Kenakalan remaja juga merupakan salah satu masalah sosial yang mungkin disebakan karena tidak terpenuhinya kebutuhan si anak untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya berupa materi dan kasih sayang dari orang tuanya.   

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa keretakan rumah tangga (broken home) sebagai suatu lingkungan keluarga yang ditimpa kemalangan, dapat dipandang sangat beralasan untuk mendorong kearah terjadinya kejahatan. Dalam suatu rumah tangga, dimana di dalamnya hidup suami isteri serta anak-anaknya, keharmonisan hubungan diantara mereka akan memberikan ketenangan hidup keluarga dan hal itu dapat dicapai  jika suami isteri menjalankan kewajibannya masing-masing sebagai anggota keluarga.

 III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tentang tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak beserta analisanya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 

1. Nafkah yang diberikan ayah kepada anak-anaknya setelah perceraian pada umumnya sangat kurang, bahkan cenderung tidak cukup sehingga dalam hal ini ayah dapat dikatakan kurang bertanggung jawab.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh ayah kurang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya adalah :

      a. Faktor ekonomi.

      b. Faktor pemahaman ayah tentang tanggung jawab nafkah.

      c. Faktor pemahaman masyarakat tentang tanggung jawab nafkah.

3. Faktor yang paling dominan tidak terpenuhinya nafkah anak adalah faktor pemahaman ayah tentang tanggung jawab nafkah dibanding dengan faktor kemampuan ekonomi, dengan demikian faktor pemahaman ayah pertama-tama yang harus ditingkatkan sehingga ia mau melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ayah, meski setelah terjadi perceraian dengan ibu dari anak-anaknya.

B. SARAN-SARAN 

  Seiring dengan kesimpulan di atas penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu penyebaran informasi tentang tanggung jawab nafkah melalui media dakwah, mesjid, majelis taklim, diskusi maupun penataran, sehingga informasi benar-benar sampai kepada masyarakat kalangan bawah, terutama mereka yang telah dan akan bercerai, dari pasangan yang telah dikarunia anak.

2. Diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan pengarahan bimbingan dan pengawasan terhadap orang tua yang seharusnya menanggung nafkah anak yang berada di dalam asuhan ibunya. Jika perlu pemerintah daerah mengeluarkan PERDA mengenai kesejahteraan anak yang orang tuanya telah bercerai.

3. Diharapkan lembaga legeslatif, segera membuat undang-undang tentang tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak, yang dapat memberikan sanksi yang berat terhadap ayah yang melalaikan kewajiban pemberian nafkah kepada anaknya.   


KEPUSTAKAAN

Alqur’anul  Karim

al-Maragi, Musthafa, Ahmad, Tafsir al-Maragi, Juz XVIII, Cet. III, Mekkah: Darul Fikri, 1974

Abdullah, Ibn Abdurrahman  Ibn Shaleh Ali Bassam, Tafsirul ‘Allaam, Juz II, Cet. V. Makkah al-Mukarramah: Maktabah wa Matbaah An-Nhdha, 1978.

Abu Zahra Muhammad Imam, al-Jarimati wal ‘Uqubatul Fiqhi al-Islamiyyi, Darul Fikri al-Arabi, Tth.,

Azyurmardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. II, Jakarta: Logos Kencana Ilmu, 2000.

al-Maududi, Abu ‘Ala, Ahmad, The Laws Of Marrige, and, Divorce In Islam, Dialihbahasakan oleh Alwiyah, dengan judul Pedoman Perkawinan Dalam Islam, Bandung: Mizan, 1987

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968

Anggalung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980.

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz I, Mesir, Maktabah wa Auladuh, t.th.

Audah ‘Abdul Qadir, At-Tasriul Jinayatul Islamiyyih, Juz I Cet. I, Kairo: Mustafah al-halabiy, 1937

At-Tarmizi, Sunan At-Tirmizi, Juz IV, Mesir: Mustafah al-Babil Halabiy, 1937

A.Hassan , Terjemahan Bulugul Maram Beserta Komentarnya, Jili II, Cet. IV, Bandung : CV DIponegoro, 1975.

Al-Baihaqy, As-Sunanul Kubra, Juz VIII, Beiru: Majlis Da’watul Ma’arif, 1354 H.

A. Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 

Abu Syahbah Muhammad, Dr., La Shalaha Lil Mujtami’aatil Islamyah, Solidaritas Islam , 1978 M, 1398 H.

Daradjat, Zakiah, Islam dan Peranan Wanita, Cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

--------------------, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970

Fathur Rahcman, Drs. Hadits-hadits Tentang Peradilan Agama, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Hasbi Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr., Filsafat  Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

1971

Penulis : Umar Yahya | Editor : Umar Yahya